Keterkaitan antara Historiografi Tradisional, Kolonial dan Modern Indonesia


Historiografi Tradisional
Dari sudut etimologis, historiografi semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu historia dan grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam fisik, sedangkan kata grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (discription). Dengan demikian, secara harafiah, historiografi dapat diartikan sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau. Historiografi dapat juga diartikan sebagai rekonstrukti yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses.
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada zaman Hindu-Budha maupun pada zaman Islam. Hasil tulisan sejarah dari masa ini sering disebut sebagai naskah. Dalam historiografi tradisional, penulisannya tidak bertujuan untuk mengungkap fakta dan kebenaran sejarah. Historiografi tradisional didominasi oleh lingkungan keraton. Para Raja mempunyai kepentingan untuk melegitimasi kekuasaan dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Historiografi tradisional bersifat etnosentris (kedaerahan), istanasentris (lingkungan keraton), dan magis religius (dilandasi unsur magis dan kepercayaan). Oleh karena itu, hasil historiografi tradisional selain dalam bentuk sejarah ada pula dalam bentuk sastra, babad, kronik, dan lain sebagainya. Dalam historiografi tradisional, tokoh sejarahnya sering dihubungkan dengan tokoh populer zaman dahulu. Bahkan, dengan tokoh yang ada dalam mitos maupun legenda sekalipun. Hal ini dimaksudkan untuk mengukuhkan dan melegitimasi kekuasaan. Contohnya, dalam kitab Negarakertagama, Ken Arok (Raja Singhasari pertama) dianggap sebagai anak Dewa Brahma. Dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan pula bahwa raja Mataram Islam pertama merupakan keturunan dari para Nabi. Bahkan, raja-raja Mataram diduga mempunyai  hubungan dengan Nyi Roro Kidul penguasa pantai selatan.
Ciri-ciri dan Contoh Historiografi Tradisional
1.      Berikut ini ciri-ciri historiografi tradisional secara lengkap, meliputi :
2.      Sering terjadi kesalahan dalam penempatan waktu.
3.      Penulisan selalu bersifat kedaerahan. Hanya terpaut pada suku bangsa tertentu.
4.      Penulisannya bersifat istana sentris, yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja.
5.      Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan atas permintaan sang raja.
6.      Bersifat melegitimasi suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis (tidak cocok).
7.      Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menunjukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.
8.      Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah), tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
9.      Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah, tetapi seringkali data-datanya bercampur dengan mitos.
10.  Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali, bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
11.  Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat di tempat naskah tersebut ditulis, sehingga merupakan hasil kebudayaan bersama dari suatu masyarakat.

Contoh Historiografi Tradisional

Contoh historiografi tradisional dapat berupa babad, sastra dan kronik. Berikut ini contoh historiografi tradisional pada masa Hindu-Budha dan pada masa Islam. Contoh karya pada masa Hindu-budha : Babad Tanah Jawa, Babad Parahiangan, Kitab Pararaton,, Babad Tanah Pasundan, Babad Sriwijaya, Kitab Negarakertagama, Babad Galuh. Contoh karya pada masa Islam meliputi : Babad Demak, Babad Diponegoro, Babad Cirebon, Babad Aceh, Babad Banten.
Sementara itu, historiografi tradisional juga memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelemahan historiografi tradisional yaitu : pertama, dalam isi penulisannya pemimpin atau raja dianggap memiliki kekuatan sakti (goib). Kedua, segala penulisan akan dihubungkan dengan hal gabid dan kepercayaan, kemudian penulisan hanya membahas mengenai kehidupan bangsawan dan tidak sama sekali membahas mengenai kehidupan rakyat.

Kelebihan historiografi tradisional yaitu : pertama, penulisan bertujuan meninggikan dan menghormati raja, sehingga raja tetap dipatuhi, dihormati dan dijunjung tinggi oleh rakyat. Kemudian bermunculan berbagai mitos bahwa raja merupakan keturunan dewa dan penjelmaan dewa, hal ini memunculkan anggapan bahwa setiap apa yang dikatakan raja benar.

Historiografi Kolonial

Historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan atas Indonesia oleh Belanda. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang Belanda. Bahkan banyak diantara mereka yang tidak pernah berkunjung di Indonesia. Sumber-sumber yang digunakan adalah arsip-arsip di Negara Belanda dan di Jakarta (Batavia). Pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber dari Indonesia. Sesuai dengan namanya, yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat jika disebut penulisan Indonesia, dan lebih tepat apabila disebut sejarah bangsa Belanda di Hindia-Belanda.

Penulisan sejarah kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa kolonial, kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya berbeda dengan penafsiran penulis sejarah nasional Indonesia. Jika dalam sejarah Belanda-sentris menonjolkan peranan VOC sebagai “pemersatu” dalam menulis sejarah Hindia-Belanda (Indonesia) maka dalam pandangan Indonesia-sentris hal itu akan berbeda. Kehadiran bangsa barat pada umumnya serta Belanda pada khususnya dan sengaja atau tidak sengaja mendorong kearah integrasi.

Sumber-sumber historiografi kolonial berasal dari dokumen-dokumen VOC, Geewoon Archief dan Gehem Achief, Wilde Vaart; catatan pelayaran orang orang belanda di perairan, Koloniale Verslagen laporan tahunan pemerintah belanda. Seperti contohya: Orang Belanda menyebut ”pemberontakan” bagi setiap perlawanan yang dilakukan oleh daerah untuk melawan kekuasaan Belanda/ kekuasaan asing yang menduduki tanah airnya. Oleh Belanda itu dianggap sebagai ”perlawanan terhadap kekuasaannya yang sah sebagai pemilik Indonesia”. Seperti Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro, Belanda menganggap itu sebagai ”Pemberontakan Diponegoro”.

Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial adalah Eropa sentris atau Belanda sentris. Dalam tulisan yang diuraikan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), dan seluk beluk kegiatan para Gubernur Jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahannya yaitu di Indonesia. Adapun uraian tentang aktivitas rakyat jajahan diabaikan sama sekali.

Dari beberapa contoh karya tentang Historiografi Kolonial karya Valentjin (1666-1727) merupakan suatu ikhtisar yang besar mengenai segala sesuatu yang dikenal tentang Compagnie dan kepulauan ini pada permulaan abad ke 18 adalah “Oud en Nieuw Oost Indien” karangan de F. Valentjin Ensiklopedia Hindia Belanda dari masa sebenarnya karya itu merupakan suatu kompilasi yang mengagumkan dari pengumumaan, dokumen-dokumen pribadi dan fragmen-fragmen yang dicuri dari karya orang lain yang dikumpulkan oleh sesorang yang mengenal Hindia-Belanda dengan baik.

Valentijn kiranya sangat senang dengan suasana Hindia, dia sendiri juga tidak lepas dari kesalahan. Dia menaruh hati pada kebesaran Campagnie dan pertumbuhan gereja Hindia akan tetapi ia juga mengkritik sejarah Hindia tentang orang-orang tertentu. Dalam karyanya tentang sejarah Maluku ia berdiam bertahun-tahun untuk menulis karya tersebut. Dari banyak peninggalan Jawa kuno yang tercatat dalam babad, interpretasi pertama dan tertua adalah miliki Valentijn.
Dari sumber lain yang saya dapatkan dari sebuah buku yang berjudul “Pembantaian Massal 1740” Karya Prof H.M Hembing Wijayakusuma disutu juga menjelaskan tentang Invasi Kompeni VOC yang mencerikatakan tentang awal dibentuknya VOC untuk menghilangkan persaingan internal, dan agar dapat mengeruk keuntungan besar melalui sistem perdagangan monopoli. VOC sendiri merupakan perusahaan raksasa yang merupakan gabungan dari beberapa perusahaan perniagaan jarak jauh yang telah ada sebelumnya. VOC terdiri dari enam bagian wilayah yaiu Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan Middelburg. Terbentuknya VOC menjadikan praktek monopoli kian meluas. Karena dalam hal ini Belanda mempunyai kekuasaan penuh untuk melakukan apa saja seperti halnya mencetak uang, merekrut pasukan perang, bahkan menimbulkan perang sekalipun. J.P Coen merupakan gubernur jendral VOC yang dianggap paling berjasa selama VOC itu berdiri, karena dia mampu merebut Yogyakarta dari tangan Kesultanan Banten pada saat itu dan dia juga kemudian mendirikan Batavia sebagai pusat perdagangannya. Batavia lambat laun menjadi kota ramai yang terus berkembang. Luasnya kekuasaan VOC membuat tanah yang ada di Batavia saat itu seakan menjadi milik mereka. Dapat dilihat dari betapa pentingnya Batavia bagi Belanda, karena scara langsung atau tidak langsung Batavia merupakan sumber modal bagi Belanda. Warga etnis Tionghoa di Batavia memegang peranan penting dalam perkembangan kota Batavia di bawah sistem ekonomi VOC, baik perdagangan internal maupun eksternal. Namun sejak akhir tahun tiga puluhan abad ke-18, VOC mulai mengalami kemunduran. Keuangan VOC mengalami deficit secara terus-menerus, beban keuangan untuk menyelenggarakan pemerintahan di Batavia jauh melampaui penerimaan.

Akar dari permasalahan ekonomi VOC yang sebenarnya pada saat itu karena adanya usaha tandingan dari pihak Inggris dalam monopoli perdagangan di Eropa. Tandingan dari pihak Inggris bernama EIC (East Indian Compagnie). Selain itu, VOC yang sebelumnya telah memonopoli perdagangan rempah-rempah, sempat berada dalam posisi goyah, karena adanya adanya perbedaan pendapat dikalangan Heren 17 mengenai penetapan harga rempah-rempah agar tetap menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Kesalahan yang terus-menerus dibuat VOC tentunya mengakumulasikan kerugian yang kian membesar di negeri Belanda.

Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya) yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.

Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada 1835 hingga 1940.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839. Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia. Contoh karya yang dihasilkan pada masa historiografi colonial adalah :

Ø  Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
Ø  Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
Ø  Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.

Ciri- ciri dari Historiografi Kolonial :

1.      Bersifat Eropa-sentris dan fokusnya ke Belanda-sentris
2.      Sifat lain tulisannya yaitu diskriminatif
3.      Bentuk tulisan yaitu berupa laporan-laporan
4.      Isinya berupa sejarah politik dan tokoh-tokoh besar
5.      Isi lain yaitu berupa kisah perjalanan Belanda untuk menemukan daerah jajahan baru.
6.      Penulisan sejarah kolonial menganggap bahwa Indonesia / Nusantara tidak memiliki sejarah sebelum bangsa Belanda datang.
7.      Penulisan digunakan untuk sarana propaganda agar semangat perlawanan bangsa Indonesia menurun / mengendur.
8.      Sumber yang digunakan yaitu sumber dari pemerintah Belanda baik di negaranya maupun daerah jajahanya.
Pada masa penjajahan atau masa kolonial menghasilkan banyak tulisan-tulisan yang berbeda dengan tulisan-tulisan pada masa sebelumnya. Historiografi kolonial adalah merupakan produk penulisan sejarah Indonesia selama di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan merupakan antitesis sejarah tradisional yang telah berkembang sebelumnya (Warto: 9). Sama dengan hal tersebut, historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia, sumber-sumber yang dipergunakan adalah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta, namun pada umumnya tidak menggunakan atau lebih menggabaikan sumber-sumber Indonesia.
Historiografi Kolonial adalah penulisan sejarah Indonesia yang ditulis untuk kepentingan dan dengan cara pandang kolonial Belanda atau lebih bersifat Eropasentris atau Nearlandosentris. Seperti yang di ungkapakan (Kartodirdjo: 25), “Telah banyak kupasan-kupasan tentang pandangan historiografis sejarah yang tradisional dan kesemuanya menekankan ciri yang menonjol, ialah Nederlandosentrisme khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya”.
Salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang moderen adalah penulisan sejarah yang di tulis oleh orang Belanda. Sebuah tim yang terdiri dari para ahli sejarah dan diketahui Dr. FW. Stapel. Judul buku sejarah yang di tulis tersebut yaitu Geschiedenis Van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).
Buku yang di tulis oleh stapel tersebut lebih banyak menceritakan peran penjajah Belanda di Indonesia. Penjajah Belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Sedangkan bangsa Indonesia hanyalah merupakan objek dari cerita sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik daerah jajahan, orang yang harus di pertuan, sedangkan bangsa Indonesia adalah merupakan abdi bagi bangsa Belanda. Tindakan tindakan bangsa Indonesia yang bertentangan dengan penjajah Belanda dianggap sebagai pemberontak.
Tokoh-tokoh penting dari orang Belanda di anggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh tokoh bangsa Indonesia yang di anggap sebagai pahlawan, dianggap sebagai orang jelek, jahat dan selalu terkait dengan cerita negatif lainnya. Misalnya diceritakan bagaimana kompeni merasa kehilangan besar ketika J.P. Coen seorang Gubernur Jendral meninggal. Dia dikuburkan dengan cara penguburan yang besar. Ketika akan dikuburkan, rakyat betawi mengusungnya. Contoh sebaliknya adalah cerita mengenai Sultan Banten. Diceritakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang yang cerdik, bijaksana dan taat menjalankan agama islam, tapi dibalik itu semua diceritakan bahwa dia memiliki kelakuan yang bengis, hatinya jelek, selamanya memusuhi kompeni dan ingin memajukan Banten dan ingin membinasakan orang-orang Betawi Jakarta.
Uraian penulisan sejarah yang demikian itu seperti yang di tulis oleh stapel, disebut dengan pendekatan penulisan yang Nederlandosentris. Pendekatan ini berarti penulisan sejarah yang dilihat dari sudut Belanda. Buku yang ditulis stepel tersebut bukanlah merupakan sejarah Indonesia, tetapi merupakan suatu penulisan sejarah penajajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri jajahan. Karena penulisan sejarah yang lebih menampilkan orang Belanda maka dalam tulisan itu, orang Belanda seakan akan menjadi subjek dalam cerita sejarah. Bangsa Indonesia dikenal sebagai kaum pribumi. Sebutan ini lebih menunjukan bahwa Indonesia bukanlah dianggap sebgai bangsa, dan tidak memiliki suatu negara. Dan kedudukan bangsa Indonesia dianggap sebagai pelayan bagi orang-orang Belanda.
Penulisan sejarah yang Nederlandsentris dalam perkembangan kemudian banyak mendapatkan kritikan. Nederlandsentris tidak dapat menampilkan bangsa Indonesia atau penulisan yang berdasarkan pada nasionalisme bangsa Indonesia. Penulisan sejarah yang lebih menonjolkan peran bangsa Indonesia atau Indonesiansenris merupakan bentuk dari dekolonisasi terhadap historiografi, artinya pelepasan penulisan sejarah dari penjajahan Belanda.
Tidak dapat disangkal, bawa historiografi turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari berbagai objektivitas yang melekat pada penulisan penulisan sejarawan kolonial, pada umumnya deskripsinya berorentasikan fakta-fakta dan kejadian kejadian, umpamanya dalam sejarah VOC tentang yang bersangkutan dengan pelayaran, perdagangan dan peperangan melawan raja-raja. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh menyolok. Apabila dalam sistem historiografi tradisional kehadiran bangsa Belanda di Indonesia handaklah diterangkan dengan memitologisasikan, seperti kisah baron sakender, sejarah (secara) teknis kita akan menghadapinya secara kritis dengan sendirinya selektif.
Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peran bangsa Belanda dan memberi teks pada aspek politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial di mana penulisan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interprestasi dari zaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk survival masyarakat serta kebudayaannya. Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa dalam skala besar seperti perang padri dan perang di negara atau perang Aceh, atau maupun yang bersekala kecil, yang oleh rakyat juga di sebut rusuh atau brandalan, seperti pemberontakan Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme, maka apa disebut pax Neerlandica lebih merupakan mitos daripada kenyataan sejarah. Sejarah perang kolonial itu terutama menguraikan pelbagai operasi militer secara mendetail. Sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek dari aksi militer Belanda, tidak diterangkan organisasi intern dari pemberontakan itu, siapa dan termasuk golongan apakah golongan itu, serta apakah yang sesungguhnya menjadi tujuannya.
Sesuai dengan namanya yaitu sejarah kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut dengan penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebagai sejarah Bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) mengapa demikian, hal ini tidaklah mengherankan sebab fokus pembicaraan adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sifat pokok dari Historiografi Kolonial ialah Eropasentris atau Belandasentris yang dibentangkan atau diuraikan secara panjang lebar di dalam aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih) seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan aktivitasnya ditanah jajahan, dan mengabaikan segala aktivitas, kejadian yang dialami oleh rakyat dan Bangsa Indonesia.
Historiografi kolonial banyak dipengaruhi tradisi penulisan sejarah di Eropa abad ke-19 di bawah tokoh Leopold von Ranke, yang di anggap sebagai “bapak” historografi modern”. Historiografi kolonial yang bersadar pada sumber-sumber arsip resmi negara mempengaruhi konstruk sejarah yang dihadirkan. Para sejarawan sejarah kolonial sepenuhnya mengandalakan studi arsip resmi yang dihimpun oleh pemerintah Kolonial Belanda yang sebagian besar merupakan laporan para pejabat baik dipusat maupun di daerah. Mudah diduga bahwa laporan-laporan resmi tersebut cenderung disusun untuk menyenangkan atasan dan di manupulasi untuk kepentingan karir mereka masing-masing.
Dari sumber sejarah seperti itulah para sejarah merekonstruksi proses sejarah Indonesia yang pada dasarnya menceritakan sejarah orang-orang Belanda di Indonesia. Pemanfaatan sumber-sumber lokal seperti sumber lisan dan artefak lainya belum banyak diminati sehingga kehadiran penduduk pribumi dalam historiografi kolonial tidak terlihat atau dengan sengaja disingkirkan. Di samping itu, historiografi yang bisa kepentingan negara kolonial menutup kemungkinan dihadirkannya peran pribumi yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Justru yang terjadi adalah memutar balikan realitas sejarah untuk mendukung kerangka historiografi yang kolonial.
Histiografi Modern Indonesia
Historiografi modern adalah penulisan sejarah Indonesia yang bersifat kritis atau memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Banyak tulisan yang salah interpretasi dengan mendefinisikan historiografi modern sebagai penulisan sejarah Indonesia setelah Indonesia merdeka. Padahal, sebelum Indonesia merdekapun, kita memiliki karya sejarah yang sengat tepat yaitu historiografi modern. Contohnya Cristiche Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten) yang merupakan karya dari Dr. Hoesein Djajadiningrat (1886-1960).
Historiografi Indonesia Modern dapat diartikan sebagai penulisan sejarah Indonesia yang lebih modern dari pada historiografi Indonesia yang terdahulu yaitu historiografi tradisional, historiografi masa kolonial atau masa reformasi. Tumbuhnya historiografi Indonesia modern merupakan suatu tuntutan akan ketepatan teknik dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin dan mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin serta menerangkannya setepat mungkin. Historiografi modern merupakan cara menulis, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Perkembangan Historiografi Modern Indonesia
a. Garis-Garis Pokok dan Pola Perkembangan Historiografi Indonesia
Kesadaran akan historisitas kita menunjukkan perbedaan yang sangat besar antara corak historiografi tradisional, seperti Babad, Hikayat, Silsilah atau Kronik, dengan historiografi modern yang berlandaskan ilmu sejarah. Perubahan dari historiografi jenis pertama ke yang kedua merupakan proses yang bergerak melalui beberapa fase. Sebagian besar historiografi tradisional memuat tindakan-tindakan dari manusia, tetapi dipengaruhi oleh kekuatan dewa-dewa, jadi merupakan teogoni dan kosmogoni yang menerangkan kekuatan-kekuatan alam dan mempersonifikasikan sebagai dewa. Selama suatu kelompok manusia belum hidup sebagai suatu kesatuan politis, maka historiografi belum berkembang. Dengan timbulnya kerajaan atau negara dan bangsa yang hidup sebagai suatu kesatuan politik, maka perhatian timbul terhadap sejarah sebagai kesatuan yang mencakup hubungan antara kejadian-kejadian dan fakta-fakta. Akan tetapi penggerak sejarah masih dilihat sebagai kekuatan kosmis, maka sejarah tidak dibedakan dari alam.
Sejarah berjalan tanpa dipengaruhi atau ditentukan oleh aksi atau motivasi manusia. Jadi lama sebelum orang menulis sejarah mitos telah menjawab pertanyaan wie es eigentlich gewesen, yaitu bagaimana sesuatu sesungguhnya terjadi. Mitos mempunyai fungsi membuat masa lampau bermakna dengan memusatkan kepada bagian-bagian masa lampau yang mempunyai sifat tetap dan berlaku secara umum, maka dalam mitos tidak ada unsur waktu, juga tidak ada masalah kronologi, tidak ada awal maupun akhir. Kronologi merupakan benih sejarah yang berpusat pada tindakan manusia, meskipun masih merupakan susunan kosmis kejadian-kejadian, baik yang alamiah maupun yang super alamiah. Sudah mulai tampak hal-hal yang esensial bagi cerita sejarah, yaitu adanya batasan waktu dan urutan kejadian. (Sartono, 1982: 10)
b. Perkembangan Historiografi Modern Indonesia
Historiografi modern yang tumbuh dari Eropa baru dikembangkan di Indonesia dan Asia Tenggara pada paruh kedua abad ke-19. Perluasan kekuasaan bangsa Eropa yang tidak merata di seluruh wilayah dan sumber bahan yang sedikit tidak memungkinkan adanya perkembangan historiografi modern, maka tulisan yang dihasilkan orang-orang Eropa pada abad ke 16 sampai ke 19 tidak mempengaruhi penulisan orang-orang Asia khususnya Indonesia.
Usaha penulisan sejarah bangsa kita, dalam artian historiografi modern, telah dilakukan pada zaman penjajahan berupa sejarah Hindia-Belanda (Geschiedenis van Nederlands-Indie) sejumlah 5 jilid. Jilid satu tentang prasejarah, jilid dua tentang sejarah Hindu-Jawa, jilid tiga tentang pembentukan VOC, dan jilid empat tentang sejarah Hindia Belanda abad ke-18. Jilid lima ditulis oleh F.W. Stappel terbit tahun 1943, ketika Belanda diduduki Jerman dan kepulauan Indonesia diduduki Jepang. Oleh karena itu, jilid lima ini tidak beredar di Indonesia. Tentu saja, kecenderungan penulisan buku tersebut didasarkan perspektif kolonial Belanda (Purwanro dan Asvi, 2005: 103).
Setelah kemerdekaan Indonesia, mulai didasari kebutuhan akan penulisan buku sejarah oleh anak bangsa. Penulisan sejarah oleh orang Belanda berfokus pada masyarakat Belanda di negara koloni atau di Eropa. Sekiranya terdapat pembahasan tentang bumiputera tentunya dari perspektif Barat (Van Leur, misalnya). Oleh karena itu, muncul pemikiran untuk menulis sejarah oleh orang Indonesia sendiri sebagai history from within. Terjadi dekolonisasi sejarah, dengan motivasi menggantikan buku teks Belanda. Penulisan sejarah ini dilakukan melalui penyaduran dengan membalikkan posisi pelaku sejarah. Model historiografi Indonesia tahun 1957 bergeser dari Belandasentris menjadi Indonesiasentris. Label “pemberontak” bagi Belanda seperti Diponegoro misalnya, berganti menjadi “pahlawan” bagi kita (Piliang, 2001: 2). Akan tetapi, dekolonisasi penulisan sejarah ini cenderung menjadi regionalisasi, dalam hal ini pokok pembahasannya lebih banyak tentang Jawa (Jawasentris).
Historiografi Indonesia Modern dimulai pada tanggal 14-18 Desember 1957, ketika itu kementrian pendidikan mengadakan Seminar Nasional Sejarah yang pertama di Yogyakarta untuk merancang sejarah nasional yang resmi. Pembangunan nasional adalah salah satu tema utama pada tahun 1950-an dan penulisan sejarah nasional adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses ini. Seminar itu membicarakan tentang usaha penulisan sejarah nasional yang berpandangan Indonesia sentris. Sejarah nasional diharapkan menjadi alat pemersatu dengan memberikan penjelasan tentang keberadaaan bangsa Indonesia melalui jejak sejarahnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian tentu objektivitasnya dapat dipertanggungjawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi atau setidaknya adalah orang Indonesia asli.
Pada saat Seminar Nasional Sejarah yang pertama muncul perselisihan pendapat antara Muhammad Yamin dan Soedjatmoko. Yamin berpendapat bahwa penelitian ilmiah seharusnya mengarah pada interpretasi nasionalis yang dapat berguna untuk memperkuat kesadaran nasional. Sodjatmoko berpendapat nasionalisme mengesampingkan pendekatan ilmiah murni, karena itu ia menjunjung tinggi tanggung jawab perorangan dan semacam universalisme abstrak. Soedjatmoko kalah suara dikarenakan pendekatannya tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tahun 1950-an, saat rakyat di Indonesia didorong untuk menjadi orang Indonesia.
Para sejarawan baru membangun sejarah nasional mereka di atas basis kolonial. Meskipun demikian asal-usul Indonesia tetap dipancang kuat-kuat pada masa imperialisme Majapahit yang berpusat di Jawa. Kaum intelektual seperti Muhammad Hatta, Takdir Alisjahbana, dan para pemuka politik diluar Jawa menentang imperialisme Majapahit baru yang terpusat di Jawa. Roeslan Abdul Gani mengemukakan sejarah yang diilhami Marxisme yang menunjukan antithesis antara kekuatan terang dan kekuatan gelap pada akhirnya membuahkan kebebasan bagi rakyat jelata, sementara Hatta menekankan bahwa historiografi sejati Indonesia berkaitan dengan wujudnya manusia pancasila.
Menjelang akhir tahun 1950-an upaya untuk membentuk lembaga-lembaga demokrasi dan otonomi daerah mengalami kegagalan akibat nasionalisme otoriter Soekarno. Indonesia masih menjadi negara tanpa sejarah karena niat konstituante 1957 untuk menulis sejarah nasional yang baru tidak terwujud. Menurut Pramodya Anata Toer yang mempunyai pandangan sama dengan Yamin dan lain-lain beranggapan bahwa meskipun historiografi Indonesia sebaiknya menggunakan metode modern penulisan sejarah yang berkembang di barat, tetapi historiografi Indonesia harus membedakan diri dari yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Sementara itu disisi lain, para wakil militer juga ikut serta menulis ulang sejarah nasional dan memasukannya ke dalam mata pelajaran sejarah. Nugroho Notosusanto pada tahun 1970-an berhasil melakukan militerisasi historiografi Indonesia terutama menyoroti peranan militer dalam menjaga keselamatan negara.
Sejak tahun 1950-an dirintis penulisan sejarah nasional namun gagal, dan baru dilakukan secara serius sesuai Seminar sejarah Nasional II (Yogyakarta, 1970). Pemerintah membentuk tim yang dipimpin Sartono Kartodirjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku itu terdiri 6 jilid: prasejarah, sejarah kuno, kerajaan-kerajaan islam, periode 1800-1900, 1900-1942 dan 1942-1965 (Purwanto dan Asvi, 2005: 104-105).
Setelah empat tahun mengadakan penelitian, termasuk studi banding di AS (Berkeley) dan Belanda (Leiden), tahun 1975 terbit buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang membuahkan kontroversi. Konflik sudah dimulai dalam lingkungan tim penyusunannya. Deliar Noer yang ditugasi menulis “pergerakan Islam 1900-1945”, satu hari dipanggil Nugroho Notosusanto dan diminta mengundurkan diri. Mundurnya Deliar diikuti oleh Abdurrahman Surjomihardjo, Thee Kian Wie, Taufik Abdullah dan kemudian, Sartono Kartodirdjo. Pada kenyataannya, buku SNI ini membuahkan banyak kritik terutama jilid 6 yang disunting oleh Nugroho Notosusanto. Tahun 1993 sempat dilakukan revisi oleh RZ Leiressa, Anhar Gonggong dan kawan-kawan, namun akhirnya buku itu tidak diedarkan.
Ciri-ciri Historiografi Modern Indonesia
Secara umum ciri-ciri historiografi modern, yaitu:
1.      Menggunakan metode yang kritis
Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktur analitis).
2.      Penghalusan teknik penelitian
Dalam teknik penelitian sejarah menggunakan metode yang tepat yaitu:Memilih topik penulisan yang tepat/sesuai- Mencari dan memilih bukti-bukti sejarah yang sesuai dengan topik- Membuat berbagai catatan penting (teknik membuat catatan)- Mengevaluasi secara kritis semua bukti yang ada- Menyusun hasil-hasil penelitian dalam suatu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya- Menyajikan dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikan kepada para pembaca- Dalam teknik penelitian menggunkan teknik studi kepustakaan yaitu dengan melalaui kajian terhadap sumber-sumber tertulis- Wawancara melalui oral history- Observasi dilakukan melalui penelitian di lapangan - Ekskavasi dilakukan melalui penggalian terhadap peninggalan sejarah.
3.      Memakai ilmu-ilmu bantu baru yang bermunculan
Secara bertahap berbagai ilmu bantu baru dalam pengerjaan sejarah berkembang mulai dari:
·         Penguasaan bahasa
·         Epigrafi (membaca tulisan kuno)
·         Numismatik (mempelajari mata uang kuno)
·         Arkeologi yang mempelajari permasalahan arsip-arsip.
4.      Metode pengumpulan sumber (heuristik) harus dikembangkan
Heuristik sebagai tahapan atau kegiatan menemukan dan menghimpun sumber, informasi, dan jejak masa lampau. Jadi, heuristik merupakan tahapan proses mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Di samping sumber tertulis, terdapat pula sumber lisan. Dalam sejarah lisan, terdapat informasi-informasi yang tidak tercantum dalam sumber-sumber tertulis. Untuk mendapatkan informasi-informasi itu, penulis harus melakukan wawancara dengan narasumber yang disebut sebagai pengkisah dengan menggunakan alat rekam dan kaset.
5.      Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis).
6.      Menggunakan pendekatan multidimensional

Caranya yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan menggunakan sumber-sumber yang lebih beragam daripada masa sebelumnya.
7.      Mengungkapkan dinamika masyarakat dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia. Sebagai contoh: Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam penulisannya.
Historigrafi Modern Indonesia
Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia. Penjelasan tentang historiografi modern di atas belumlah mengedepankan aspek Indonesia sehingga perlu ditambahkan beberapa poin seperti berikut :

a)      Hasil penulisan merupakan perbandingan dari berbagai sumber baik, itu sumber kolonial maupun sumber lokal.
b)      Tidak hanya mengangkat sejarah orang-orang besar dan negara saja, tetapi lebih pada kemanusiaannya, yaitu kebudayaan.
c)      Cara pandang yang digunakan dalam melihat peristiwa tidak lagi dari satu sisi melainkan memandang suatu peristiwa dari berbagai sudut pandang. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya subjektifitas dalam menuliskan sejarah.
d)      Mengandung character and nation-bulding (pembangunan karakter bangsa).
e)      Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai di Indonesia kan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
f)       Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional (Indonesiasentris). Dengan syarat-syarat sebagai berikut:
·         Sejarah yang mengungkapkan “sejarah dari dalam” yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama.
·         Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
·         Erat hubungan dengan kedua pokok di atas, perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetatpi juga dari kaum ulama atau petani serta golongan-golongan lainnya.
·         Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geopolitik seperti yang kita hadapi dewasa ini, maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengatur seberapa jauh integritas itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai.
g)      Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial. Penulisnya berasal dari orang-orang akademis/ktitis dalam bidang bahasa, kesusastraan, dan kepurbakalaan.
h)      Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik di mana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan menggantikan beberapa hal seperti:
1.      Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
2.      Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.
3.      Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.


SELAMAT BELAJAR, GOOD LUCK

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer