Ilustrasi Manusia Purba |
Kehidupan
Masyarakat Pra Aksara Di Indonesia
Masa
pra aksara atau biasa disebut masa prasejarah adalah masa kehidupan manusia
sebelum mengenal tulisan. Manusia yang diperkirakan hidup pada masa pra aksara
adalah manusia purba. Pada masa ini, kita tidak dapat mengetahui sejarah serta
kebudayaan manusia melalui tulisan. Satu-satunya sumber untuk mengetahui
kehidupan manusia purba hanya melalui peninggalan-peninggalan mereka yang
berupa fosil, alat-alat kehidupan, dan fosil tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang
hidup dan berkembang pada masa itu.
Zaman
pra aksara berlangsung sangat lama, yaitu sejak manusia belum mengenal tulisan
hingga manusia mulai mengenal dan menggunakan tulisan. Zaman manusia mengenal
dan menggunakan tulisan disebut zaman aksara atau zaman sejarah. Zaman pra
aksara di Indonesia berlangsung sampai abad ke-3
Masehi.
Jadi, pada abad ke-4 Masehi, manusia Indonesia baru mulai mengenal tulisan. Hal
ini dapat diketahui dari batu bertulis yang terdapat di Muara Kaman, Kalimantan
Timur. Meskipun prasasti tersebut tidak berangka tahun, tetapi bahasa dan
bentuk huruf yang digunakan menunjukkan bahwa prasasti tersebut dibuat kurang
lebih tahun 400 Masehi.
1.
Manusia
Purba
Dari
hasil penelitian dan penemuan fosil, oleh para ahli purbakala manusia purba
banyak di temukan di Indonesia terutama di Pulau Jawa. Manusia purba pada masa
lampu telah tinggal di beberapa daerah di Pulau Jawa diantaranya di Lembah
Bengawan Solo (Jawa Tengah) dan di Lembah Sungai Brantas (Jawa Timur). Dia
daerah daerah tersebut di atas banyak di temukan fosil manusia purba. Di
Indonesia terdapat beberapa jenis manusia purba diantaranya Meganthropus
paleojavanicus, Pithacanthropus erectus, dan Homo (manusia purba modern).
1) Meganthropus
paleojavanicus.
Meganthropus
paleojavanicus artinya manusia purba yang besar dan tertua di Jawa. Manusia
purba ini memiliki ciri tubuh yang kekar, diperkirakan sebagai manusia purba
yang paling tua diantara manusia purba yang lain. Fosil manusia purba
meganthropus paleojavanicus ditemukan dan diteliti oleh Dr. G.H.R. von
Koenigswald pada tahun 1936 dan 1941. Pertama kali fosil makhluk ini ditemukan
di Sangiran, daerah lembah Bengawan
Solo, dekat Surakarta. Dari yang dapat dilihat ukuran fosil itu, meganthropus
paleojavanicus berbadan besar dengan rahang besar, kening menonjol, dan tulang
tebal. Dari keadaan itu, maka makhluk Sangiran tersebut dinamakan Meganthropus
Paleojavanicus (mega = besar, anthropos = manusia, paleo = purba, javanicus =
manusia jawa). Meganthropus hidup sekitar 2 juta tahun sebelum masehi dan hidup
dengan makan tumbuh-tumbuhan. Makhluk tersebut termasuk jenis Homo Hobilis.
2) Pithacanthropus
erectus.
Pithacanthropus erectus
artinya manusia kera yang berjalan tegak. Manusia purba ini memiliki ciri-ciri
berbadan tegak, dan memiliki tinggi banadan antara 165-180 cm. Pithacanthropus
erectus merupakan manusia purba yang paling banyak di temukan di Indonesia
diantaranya di Mojokerto, Kedungtrubus, Trinil, Sangiran, Sambungmacan, dan
Ngandong. Pertama kali di temukan oleh Eugene Dubois di Trinil dekat Sungai
Bengawan Solo, Surakarta, tahun 1891.
3) Homo.
Homo berarti manusia. Manusia purba
jenis ini memiliki ciri yang lebih sempurna di bandingkan dengan Meganthropus
paleojavanicus dan Pithecantropus erectus. Beberapa jenis homo yang di temukan
di Indonesia antara lain.
Homo
Soloensis, artinya manusia dari Solo. Ditemukan pada tahun 1931-1934, olah Ter
Haar dan Ir. Oppenorth di Ngandong, Lembah Sungai Bengawan Solo. Ciri-ciri Homo
Soloensi yaitu berjalan tegak dengan tinggi badan 180 cm, tengkoraknya lebih
besar dari Pithacantropus erectus.
Homo
Wajakensis, artinya manusia dari Wajak. Ditemukan pada tahun 1889, olah Van
Reitschoten di Wajak, Tulungagung, Jawa Timur. Ciri-ciri Homo Soloensi yaitu
berjalan tegak dengan tinggi badan 130-210 cm, tengkoraknya lebih bulat muka
tidak terlalu menjorok ke depan, dan telah memiliki kemampuan membuat peralatan
dari batu, tulang dan kayu.
Homo
Sapiens, artinya manusia cerdas. Merupakan generasi terakhir dari manusia
purba. Homo sapiens hidup di Zaman Holosen sekitar 4000 tahun yang lalu.
Memiliki ciri-ciri fisik yang sudah hampir sama dengan manusia modern saat ini.
2.
Asal
Usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia
Kalau kita
menengok ke belakang untuk mencoba merunut asal mula nenek moyang bangsa
Indonesia, kita akan mendapatkan berbagai gambaran yang cukup beragam. Sebagian
besar teori tentang Kebudayaan Prasejarah Indonesia yang datang dari Barat
menjelaskan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia datang dari Asia Tenggara
(Indochina/Yunnan). Diduga mereka datang dalam dua gelombang migrasi besar yang
diperkirakan terjadi sekitar tahun 5000 SM dan tahun 2000 SM. Mereka
menyeberang ke kepulauan di Samudera India, kemudian menyebar dari Madagaskar
hingga ke Filipina dan Melanesia, yang akhirnya hidup menyatu dengan penduduk
asli setempat. Inilah yang disebut sebagai nenek moyang bangsa Indonesia.
Salah satu
pendukung teori nenek moyang bangsa Indonesia di atas adalah von Heine Geldern.
Menurut beliau, nenek moyang bangsa Indonesia yang menurunkan generasi paling
banyak sekarang ini berasal dari benua Asia (Yunnan, Cina Selatan). Pendapat
Geldern didukung bukti berupa kesamaan peninggalan benda-benda antara daerah
Yunnan dan Indonesia. Benda-benda yang sama itu, antara lain kapak lonjong dan
kapak persegi. Nenek moyang yang berasal dari Yunnan migrasi ke kepulauan
Nusantara karena terdesak oleh bangsa lain yang lebih kuat. Selain itu, mereka
hidup di alam yang tidak banyak memberikan kesejahteraan hidup. Seperti yang
telah kami sebutkan sebelumnya, nenek moyang bangsa Indonesia tersebut datang
dengan dua gelombang. Gelombang pertama disebut Melayu Tua (Proto Melayu) dan
berikutnya disebut dengan Melayu Muda (Deutero Melayu).
Peta Persebaran
Nenek Moyang Indonesia
Gambar 1. Peta
persebaran nenek moyang Indonesia
Nenek Moyang Indonesia Golongan Proto
Melayu (Melayu Tua)
Nenek moyang
bangsa Indonesia dari golongan Melayu Tua (Proto Melayu) tiba sekitar tahun
2.000 SM. Kedatangan nenek moyang tersebut sambil membawa kebudayaan neolitikum
(batu baru). Mereka tersebar menjadi dua cabang. Cabang pertama dari proto
melayu adalah bangsa yang membawa peralatan kapak lonjong. Mereka disebut
sebagai ras Papua-Melanesoid. Arah persebaran via timur yaitu dari Yunnan
melewati Filipina, kemudian tersebar ke Sulawesi Utara, Maluku, dan ada juga
yang sampai ke Papua.
Cabang yang kedua
dari nenek moyang dari golongan Proto Melayu disebut Ras Austronesia.
Kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia via timur ini bermula dari Yunnan
melewati Malaya/ Malaysia yg sekarang, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau
lainnya. Datangnya nenek moyang tersebut sambil membawa kebudayaan kapak
persegi. Setibanya di kepulauan Indonesia, sebagian dari mereka berasimilasi
dengan ras Austro-Melanesoid. Sebagian lagi tetap mempertahankan ras aslinya.
Nenek Moyang Indonesia Golongan
Deutro Melayu (Melayu Muda)
Nenek moyang
bangsa Indonesia dari golongan Melayu Muda (Deutro Melayu) tiba di kepulauan
Indonesia sekitar tahun 500 SM. Nenek moyang tersebut datang sambil membawa
kebudayaan logam yang berasal dari Dongson, Vietnam Utara. Kebudayaan logam
tersebut antara lain; candrasa, nekara, manik-manik, arca, dan bejana perunggu.
Jalur penyebaran nenek moyang bangsa Indonesia dari golongan ini dimulai dari
daratan Asia ke Thailand, Malaysia Barat, dan berlanjut ke tempat-tempat di
Indonesia. Gelombang terakhir nenek moyang ini masih tergolong ras Austronesia.
Selanjutnya, semakin berkembang ras Papua-Melanesoid, Austronesia, dan sisa ras
Austro-Melanesoid melahirkan bermacam-macam suku bangsa yang tersebut di
seluruh pelosok Indonesia.
Asal Usul Nenek Moyang Bangsa
Indonesia Menurut Ahli
Beberapa ahli sejarah mempunyai
pendapat yang berbeda-beda mengenai asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia.
Beberapa pendapat tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Menurut
Drs. Moh. Ali
Drs.
Moh. Ali menyatakan bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunnan. Nenek
moyang bangsa Indonesia berasal dari hulu-hulu sungai besar di Asia yang datang
ke Indonesia secara bergelombang. Gelombang pertama dari tahun 3000-1500 SM
dengan ciri-ciri kebudayaan Neolitikum dengan perahu bercadik satu. Gelombang
yang kedua terjadi dari tahun 1500-500 SM dengan ciri-ciri menggunakan perahu
bercadik dua.
2. Menurut
Moens
Moens
berpendapat bahwa bangsa Indonesia berasal dari daerah Mongol dan terdesak oleh
bangsa-bangsa yang lebih kuat. Akibatnya mereka menyebar ke arah selatan hingga
sampai ke wilayah Indonesia.
3. Menurut
Prof. H. Kroom
Prof.
H. Kroom menyatakan bahwa asal-usul bangsa Indonesia dari daerah Cina Tengah
karena pada daerah Cina Tengah terdapat sumber-sumber sungai besar. Mereka
menyebar ke wilayah Indonesia sekitar tahun 2000 SM sampai tahun 1500 SM.
4. Menurut
Moh. Yamin
Prof.
Moh. Yamin menentang semua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli. Ia
berpendapat bahwa asal bangsa Indonesia adalah dari Indonesia sendiri. Bahkan
bangsa-bangsa lain yang ada di wilayah Asia berasal dari Indonesia. Pendapat
Moh. Yamin didukung oleh suatu pernyataannya tentang Blood Und Breden Unchiro
yang berarti adalah daerah dan tanah bangsa Indonesia adalah berasal dari
Indonesia sendiri. Ia menyatakan bahwa fosil dan artefak lebih banyak dan
lengkap ditemukan di wilayah Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah
lainnya di Asia. Misalnya dengan penemuan manusia purba sejenis Homo soloensis
dan Homo wajakensis.
3.
Corak
Kehidupan Masyarakat Pra Aksara
Corak
Kehidupan masyarakat Indonesia pada masa
Praaksara dapat dibagi ke dalam tiga masa, yaitu masa berburu dan
mengumpulkan makanan, masa bercocok tanam, dan masa perundagian.
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan
(Food Gathering)
Kehidupan manusia
masa berburu dan mengumpulkan makanan, dari sejak Pithecanthropus sampai
dengan Homo sapiens dari Wajak sangat bergantung pada kondisi alam. Mereka
tinggal di padang rumput dengan semak belukar yang letaknya berdekatan dengan
sungai. Daerah itu juga merupakan tempat persinggahan hewan-hewan seperti
kerbau, kuda, monyet, banteng, dan rusa, untuk mencari mangsa. Hewan-hewan
inilah yang kemudian diburu oleh manusia. Di samping berburu, mereka juga
mengumpulkan tumbuhan yang mereka temukan seperti ubi, keladi, daun-daunan, dan
buah-buahan. Mereka bertempat tinggal di dalam gua-gua yang tidak jauh dari
sumber air, atau di dekat sungai yang
terdapat sumber makanan seperti ikan, kerang, dan siput.
Ada
dua hal yang penting dalam sistem hidup
manusia Praaksara (masa berburu
dan mengumpulkan makanan) yaitu membuat alat-alat dari batu yang masih kasar,
tulang, dan kayu disesuaikan dengan keperluannya, seperti kapak perimbas, alat-alat serpih, dan kapak genggam.
Selain itu, manusia Praaksara juga membutuhan api untuk memasak dan
penerangan pada malam hari. Api dibuat dengan cara menggosokkan dua keping batu
yang mengandung unsur besi sehingga menimbulkan percikan api dan membakar lumut
atau rumput kering yang telah disiapkan.Sesuai dengan mata pencahariannya,
manusia Praaksara tidak mempunyai tempat tinggal tetap, tetapi selalu
berpindah-pindah (nomaden) mencari tempat-tempat yang banyak bahan makanan.
Tempat yang mereka pilih di sekitar padang rumput yang sering dilalui binatang
buruan, di dekat danau atau sungai, dan di tepi pantai. Dalam kehidupan sosial,
manusia Praaksara hidup dalam kelompok-kelompok dan membekali dirinya untuk
menghadapi lingkungan sekelilingnya.
Beberapa
ahli membagi masa ini menjadi 2 (dua) yaitu masa berburu dan mengumpulkan
makanan tingkat sederhana dan masa
berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.
Masa Bercocok Tanam (Food Producing)
Masa
bercocok tanam adalah masa ketika manusia mulai memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan cara memanfaatkan hutan belukar untuk dijadikan ladang. Masa bercocok
tanam terjadi ketika cara hidup berburu dan mengumpulkan bahan makanan
ditinggalkan. Pada masa ini, mereka mulai hidup menetap di suatu tempat.
Manusia Praaksara yang hidup pada masa
bercocok tanam adalah Homo
sapiens, baik itu ras Mongoloid maupun
ras Austromelanesoid.
Masa
ini sangat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat karena pada masa ini
terdapat beberapa penemuan baru seperti penguasaan sumber-sumber alam. Berbagai
macam tumbuhan dan hewan mulai dipelihara. Mereka bercocok tanam dengan cara berladang.
Pembukaan lahan dilakukan dengan cara menebang dan membakar hutan. Jenis
tanaman yang ditanam adalah ubi, pisang, dan sukun. Selain berladang, kegiatan
berburu dan menangkap ikan terus dilakukan untuk mencukupi kebutuhan akan
protein hewani. Kemudian, mereka secara
perlahan meninggalkan cara berladang dan
digantikan dengan bersawah. Jenis tanamannya adalah padi dan umbi-umbian. Dalam
perkembangan selanjutnya, manusia praaksara masa ini mampu membuat alat-alat
dari batu yang sudah diasah lebih halus serta mulai dikenalnya pembuatan
gerabah. Alat-alatnya berupa beliung
persegi dan kapak lonjong, alat-alat
pemukul dari kayu, dan mata panah.
Pada masa
bercocok tanam, manusia mulai
hidup menetap di suatu perkampungan yang terdiri atas tempat-tempat tinggal
sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga. Mereka mendirikan rumah panggung
untuk menghindari binatang buas. Kebersamaan dan gotong royong mereka junjung
tinggi. Semua aktivitas kehidupan, mereka kerjakan secara gotong royong.
Tinggal hidup menetap menimbulkan masalah berupa penimbunan sampah dan kotoran
sehingga timbul pencemaran lingkungan
dan wabah penyakit. Pengobatan dilakukan oleh para dukun. Pada masa bercocok
tanam, bentuk perdagangan bersifat barter. Barang-barang yang dipertukarkan
waktu itu ialah hasil-hasil bercocok tanam, hasil kerajinan tangan (gerabah,
beliung), garam, dan ikan yang dihasilkan oleh penduduk pantai.
Masa Perundagian (Masa Pertukangan)
Masa
perundagian merupakan masa akhir Prasejarah di Indonesia. Menurut R.P. Soejono,
kata perundagian berasal dari bahasa
Bali: undagi, yang artinya adalah
seseorang atau sekelompok orang atau segolongan orang yang mempunyai kepandaian
atau keterampilan jenis usaha tertentu, misalnya pembuatan gerabah, perhiasan kayu, sampan, dan batu
(Nugroho Notosusanto, et.al, 2007). Manusia Praaksara yang hidup pada masa
perundagian adalah ras Australomelanesoid dan Mongoloid. Pada masa perundagian,
manusia hidup di desa-desa, di daerah pegunungan, dataran rendah, dan di tepi
pantai dalam tata kehidupan
yang
makin teratur dan terpimpin. Kehidupan masyarakat pada masa perundagian
ditandai dengan dikenalnya pengolahan logam. Alat-alat yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari sudah banyak yang terbuat dari logam. Adanya alat-alat
dari logam tidak serta merta menghilangkan penggunaan alat-alat dari batu.
Masyarakat masa perundagian masih menggunakan alat-alat yang
terbuat dari batu. Penggunaan bahan logam tidak tersebar luas sebagaimana
halnya penggunaan bahan batu. Kondisi ini disebabkan persediaan logam masih
sangat terbatas. Dengan keterbatasan ini, hanya orang-orang tertentu saja yang
memiliki keahlian untuk mengolah logam.
Pada
masa perundagian, perkampungan sudah lebih besar karena adanya hamparan
lahan pertanian. Perkampungan yang
terbentuk lebih teratur dari sebelumnya. Setiap kampung memiliki pemimpin yang
disegani oleh masyarakat.Pada masa ini, sudah ada pembagian kerja yang jelas disesuaikan
dengan keahlian
masing-masing.
Masyarakat tersusun menjadi kelompok majemuk, seperti kelompok petani,
pedagang, maupun perajin. Masyarakat juga telah membentuk aturan adat istiadat yang dilakukan secara
turun-temurun. Hubungan dengan daerah-daerah di sekitar Kepulauan Nusantara
mulai terjalin. Peninggalan masa perundagian menunjukkan kekayaan dan
keanekaragaman budaya. Berbagai bentuk benda seni, peralatan hidup, dan upacara
menunjukkan kepada kita bahwa kehidupan masyarakat masa itu sudah memiliki
kebudayaan yang tinggi.
4. Kebudayaan
Masyarakat Pra Aksara
Berdasarkan
hasil kebudayaannya, secara garis besar kebudayaan Zaman Praaksara dibagi
menjadi Zaman Batu dan Zaman Logam.
1.
Zaman Batu
Pada
Zaman Batu, peralatan yang digunakan manusia purba terbuat dari batu. Zaman
Batu dibedakan menjadi empat zaman, yaitu Zaman Palaeolithikum, Mesolithikum,
Neolithikum, dan Megalithikum.
Zaman
Palaeolithikum (Zaman Batu Tua)
Disebut
Zaman Batu Tua karena hasil kebudayaan dibuat dari batu dan pengerjaannya masih
sederhana dan kasar. Hasil kebudayaan pada Zaman Palaeolithikum yang terkenal
adalah kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
1)
Kebudayaan Pacitan
Pacitan
adalah nama salah satu kabupaten di Jawa Timur yang berbatasan dengan Jawa
Tengah. Pada zaman purba, diperkirakan aliran Bengawan Solo mengalir ke selatan
dan bermuara di pantai Pacitan. Pada 1935, Von Koenigswald menemukan beberapa
alat dari batu di Pacitan. Alat-alat tersebut bentuknya menyerupai kapak,
tetapi tidak bertangkai sehingga menggunakan kapak tersebut dengan cara
digenggam. Alat-alat batu dari Pacitan ini disebut dengan kapak genggam
(chopper) dan kapak perimbas. Di Pacitan juga ditemukan alat-alat berbentuk
kecil yang disebut serpih. Berbagai benda peninggalan tersebut diperkirakan
digunakan oleh manusia purba jenis Meganthropus.
2)
Kebudayaan Ngandong
Ngandong
adalah salah satu daerah dekat Ngawi, Madiun, Jawa Timur. Di daerah Ngandong
dan Sidorejo banyak ditemukan alat dari tulang dan alat-alat kapak genggam dari
batu. Alat-alat dari tulang itu di antaranya dibuat dari tulang binatang dan
tanduk rusa. Selain itu, ada juga alat-alat seperti ujung tombak yang bergerigi
pada sisi-sisinya. Berdasarkan penelitian, alat-alat itu merupakan hasil
kebudayaan Homo Soloensis dan Homo Wajakensis. Karena ditemukan di daerah
Ngandong, dikenal secara umum dengan Kebudayaan Ngandong.
Di
dekat Sangiran, dekat dengan Surakarta ditemukan juga alat-alat berbentuk kecil
yang biasa disebut flake. Manusia purba sudah memiliki nilai seni yang tinggi.
Pada beberapa flake ada yang dibuat dari batu indah, seperti chalcedon.
Info
Untukmu
Pada
zaman batu, tidak berarti manusia purba hanya memakai alat dari batu. Mereka
juga menggunakan alat dari kayu. Namun, bekasnya tidak bisa ditemukan lagi
karena sudah lapuk.
Zaman
Mesolithikum (Zaman Batu Madya)
Dua
hal yang menjadi ciri Zaman Mesolithikum adalah kebudayaan Kjokkenmoddinger dan
abris sous roche.
1)
Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger
berasal dari bahasa Denmark. Kjokken berarti dapur dan modding berarti sampah.
Jadi, kjokkenmoddinger adalah sampah-sampah dapur. Kjokkenmoddinger merupakan
timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung. Di dalam Kjokkenmoddinger
ditemukan banyak kapak genggam. Kapak tersebut berbeda dengan chopper (kapak
genggam dari Zaman Palaeolithikum).
Kapak
genggam tersebut dinamakan pebble atau Kapak Sumatra berdasarkan tempat
penemuannya. Di samping pebble, ditemukan pula kapak pendek (hache courte) dan
pipisan (batu bata penggiling beserta landasannya).
2)
Abris Sous Roche
Manusia
purba menjadikan gua sebagai rumah. Kehidupan di dalam gua yang cukup lama
meninggalkan sisa-sisa kebudayaan dari mereka. Abris sous roche adalah
kebudayaan yang ditemukan di dalam gua-gua. Di daerah mana alat-alat tersebut
ditemukan? Alat-alat apa saja yang ditemukan di dalam gua tersebut?
Di
Gua Lawa, Sampung, Ponorogo, Jawa Timur banyak ditemukan alat-alat, seperti
flake, kapak, batu penggilingan, dan beberapa alat dari tulang. Karena di gua
tersebut banyak ditemukan peralatan dari tulang, disebut Sampung Bone Culture.
Selain di Sampung, gua-gua sebagai abris sous roche terdapat juga di Besuki,
Bojonegoro, dan Sulawesi Selatan.
Zaman
Neolithikum (Zaman Batu Baru/Batu Muda)
Zaman
Neolithikum merupakan perkembangan zaman dari kebudayaan batu madya. Alat-alat
dari batu yang mereka hasilkan lebih sempurna dan telah lebih halus disesuaikan
dengan fungsinya. Hasil kebudayaan yang terkenal pada Zaman Neolitikum adalah
jenis kapak persegi dan kapak lonjong.
1)
Kapak Persegi
Kapak
persegi berbentuk persegi panjang atau trapesium. Kapak persegi yang besar
sering disebut beliung atau pacul (cangkul). Sementara yang berukuran kecil
disebut trah (tatah) yang digunakan untuk mengerjakan kayu. Alat-alat itu,
terutama beliung, sudah diberi tangkai. Daerah persebaran kapak persegi adalah
daerah Indonesia bagian barat, misalnya di daerah Sumatra, Jawa, dan Bali.
2)
Kapak Lonjong
Kapak
lonjong dibuat dari batu berbentuk lonjong yang sudah diasah halus dan diberi
tangkai. Fungsi alat ini diperkirakan untuk kegiatan menebang pohon. Daerah
persebaran kapak lonjong umumnya di daerah Indonesia Bagian Timur, misalnya di
daerah Irian, Seram, Tanimbar, dan Minahasa.
Pada
Zaman Neolithikum, di samping ada berbagai kapak, juga ditemukan berbagai alat
perhiasan. Misalnya, di Jawa ditemukan gelang-gelang dari batu indah dan
alat-alat tembikar atau gerabah. Pada zaman itu sudah dikenal adanya pakaian.
Hal ini terbukti dengan ditemukannya alat pemukul kulit kayu yang dijadikan
sebagai bahan pakaian.
Zaman
Megalithikum (Zaman Batu Madya)
Peninggalan
kebudayaan Megalithikum terbuat dari batu berukuran besar. Kebudayaan
Megalithikum tidak hanya untuk keperluan memenuhi kebutuhan hidup manusia
secara fisik. Mereka juga telah membuat berbagai bangunan batu untuk
kepentingan berbagai upacara keagamaan, di antaranya dipergunakan dalam
persembahyangan maupun untuk mengubur jenazah. Hasil-hasil Kebudayaan
Megalithikum, antara lain sebagai berikut.
1)
Menhir
Menhir
adalah tiang atau tugu batu yang didirikan sebagai sarana untuk memuja arwah
nenek moyang. Menhir banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Kalimantan, dan
Sulawesi Tengah.
2)
Dolmen
Dolmen
merupakan bangunan berbentuk seperti meja batu, berkaki menhir (menhir yang
agak pendek). Bangunan ini digunakan sebagai tempat sesaji dan pemujaan terhadap
nenek moyang. Ada juga dolmen yang di bawahnya berfungsi sebagai kuburan.
Bangunan semacam ini dinamakan pandusha.
3)
Sarkofagus
Sarkofagus
adalah peti kubur batu yang bentuknya seperti lesung dan mempunyai tutup.
Sarkofagus banyak ditemukan di daerah Bali. Bersama Sarkofagus juga ditemukan
tulang-tulang manusia beserta bekal kubur, seperti perhiasan, periuk, dan
beliung.
4)
Kubur Batu
Kubur
batu hampir sama dengan sarkofagus, begitu juga dengan fungsinya. Bedanya,
kubur batu ini terbuat dari lempengan atau lembaran batu yang lepas-lepas dan
dipasang pada keempat sisinya, bagian alas dan bagian atasnya. Kubur peti batu
ini banyak ditemukan di daerah Kuningan, Jawa Barat.
5)
Punden Berundak
Punden
berundak adalah bangunan dari batu yang disusun secara bertingkat. Fungsi
bangunan ini adalah untuk pemujaan. Punden berundak ditemukan di daerah Lebak
Sibedug, Banten Selatan.
6)
Arca
Arca
adalah patung yang dibuat menyerupai bentuk manusia dan binatang. Binatang yang
digambarkan, di antaranya gajah, kerbau, kera, dan harimau. Arca ini banyak
ditemukan, antara lain di Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur.
Apa
yang dapat kalian simpulkan dari berbagai peninggalan pada Zaman Batu Besar?
Bagaimana dengan pemenuhan kebutuhan manusia pada masa tersebut? Apakah mereka
hanya membutuhkan keperluan untuk memenuhi perutnya? Berbagai peninggalan pada
Zaman Megalithikum menunjukkan kepada kita bahwa manusia pada Zaman Praaksara
telah sadar akan adanya kekuatan di luar manusia. Walaupun mereka tidak
meninggalkan bentuk agama yang jelas, mereka telah menunjukkan ketaatan kepada
Sang Pencipta.
2.
Zaman Logam
Pada
Zaman Logam, manusia telah mengembangkan teknologi yang cukup tinggi. Mengapa
dikatakan teknologi tinggi? Sebab batu tinggal membentuk sesuai kehendak pemahat.
Logam sementara itu tidak dapat dipahat dengan mudah sebagaimana halnya batu.
Manusia
purba membuat peralatan dari logam seperti perunggu dan besi. Mereka telah
mengolah bahan tersebut menjadi beraneka macam bentuk. Hal ini membuktikan
bahwa manusia purba telah mengenal peleburan logam. Kebudayaan Zaman Logam
sering juga disebut Zaman Perundagian.
Manusia
purba membuat peralatan dari logam, baik sebagai alat berburu, mengerjakan
ladang, maupun untuk keperluan upacara keagamaan. Alat-alat dari perunggu,
misalnya kapak corong atau kapak sepatu. Kapak corong ditemukan di Sumatra
Selatan, Jawa, Bali, serta Sulawesi Tengah dan Selatan.
Di
beberapa daerah di Indonesia juga ditemukan nekara. Nekara digunakan untuk
upacara keagamaan (kepercayaan pada masa purba). Misalnya, dalam upacara
memanggil hujan dan persembahan lainnya. Nekara ini berbentuk seperti berumbung
yang berpinggang bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Jadi, seperti
dandang telungkup. Daerah penemuannya di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Pulau
Roti, Selayar, dan Kepulauan Kei. Di Alor ditemukan nekara yang berukuran kecil
yang disebut moko. Selain nekara, juga ditemukan alat atau benda-benda
perhiasan, seperti kalung, cincin, anting-anting, dan manik-manik.
5.
Nilai-Nilai
Masyarakat Pra Aksara/ Sistem Kepercayaan
Pada
Masa Praaksara Seiring dengan perkembangan kemampuan berfikir, manusia purba
mulai mengenal kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan lain di luar dirinya.
Untuk menjalankan kepercayaan yang diyakininya manusia purba malakukan berbagai
upacara dan ritual. Sistem akepercayaan yang di anut manusia pada masa
prakasara atau masa prasejarah antara lain animisme, dinamisme, totemisme, dan
shamanisme.
a. Animisme, adalah percaya pada roh nenek
moyang maupun roh-roh lain yang mempengaruhi kehidupan mereka. Upaya yang
dilakukan agar roh-roh tersebut tidak mengganggu adalah dengan memberikan
sesaji.
b. Dinamisme, adalah percaya pada kekuatan
alam dan benda-benda yang memiliki gaib. Manusia purba melakukanya dengan
menyembah batu atau pohon besar, gunung, laut, gua, keris, azimat, dan patung.
c. Totemisme, adalah percaya pada binatang
yang dinganggap suci dan memiliki kekuatan. Dalam melakukan upacara ritual
pemujaan manusia purba membutuhkan sarana, dengan membangun bangunan dari batu
yang dipahat dengan ukuran yang besar. Masa ini di sebut sebagai kebudayaan
Megalitikum (kebudayaan batu besar)
Komentar
Posting Komentar